Tuesday, March 29, 2016

Tipe-tipe kelompok sosial

Setelah paham tentang pengertian dan ciri-ciri sebuah kelompok sosial, Anda mungkin bertanya, "seperti apa bentuk kelompok sosial dalam kenyataannya?" Beberapa klasifikasi berikut akan membantu Anda menjawab pertanyaan tersebut.

Klasifikasi Durkheim
Durkheim membagi kelompok sosial menjadi dua, yakni kelompok sosial yang didasarkan pada solidaritas mekanik dan yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri dari masyarakat yang masih sederhana dan belum mengenal pembagian kerja.

Tiap-tiap keIompok dapat mernenuhi keperluan mereka masing-masing tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya.

Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah persamaan perilaku dan sikap. Seluruh warga masyarakat diikat oleh kesadaran kolektif, yaitu suatu kesadaran bersama yang memiliki tiga karakteristik, yaitu mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, ada di luar warga, dan bersifat memaksa. Sanksi terhadap pelanggaran kesadaran bersama akan dikenai hukuman yang bersifat represif (hukuman pidana). Kesadaran bersama itu menjaga persatuan, sedangkan hukuman bertujuan agar kondisi tidak seimbang akibat perilaku menyimpang dapat pulih kembali.

Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang telah mengenal pembagian kerja. Bentuk solidaritas ini bersifat mengikat, sehingga unsur-unsur di dalam masyarakat tersebut saling bergantung. Karena adanya kesalingtergantungan ini, ketiadaan salah satu unsur akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup bermasyarakat.

Pada masyarakat dengan solidaritas organik, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif, melainkan kesepakatan yang terjalin di antara berbagai profesi. Hukum yang menonjol bukan hukum pidana, melainkan ikatan hukum perdata. Sanksi terhadap pelanggaran kesepakatan bersama bersifat restitutif. Artinya, si pelanggar harus membayar ganti rugi kepada yang dirugikan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah ia langgar.

Klasifikasi Ferdinand Tonnies
Menurut Ferdinand Tonnies, kelompok di dalam masyarakat dibedakan menjadi dua, yaitu gemeinschaft dan gesselschaft. Gemeinschaft merupakan kehidupan bersama yang intim, pribadi, dan eksklusif. Suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Contohnya adalah, ikatan perkawinan, agama, bahasa, adat, dan rumah tangga.

Gesselschaft merupakan kehidupan publik sebagai sekumpulan orang yang secara kebetulan hadir bersama tapi masing-masing tetap mandiri. Gesselschaft bersifat sementara dan semu. Di dalam gemeinschaft individu tetap bersatu meskipun tinggal secara terpisah, sebaliknya di dalam gesselschaft, individu pada dasarnya terpisah meskipun ada faktor pemersatu. Contoh gesselschaft adalah ikatan pekerja, dan ikatan pengusaha.

Klasifikasi Charles H. Cooley dan Ellsworth Farris
Menurut Charles H. Cooley, di dalam masyarakat terdapat kelompok primer. Kelompok ini ditandai dengan pergaulan dan kerja sama tatap muka yang intim. Ruang lingkup terpenting kelompok primer adalah keluarga, teman bermain pada masa kecil, rukun warga, dan komunitas orang dewasa. Pergaulan yang intim ini menghasilkan keterpaduan individu dalam satu kesatuan, membuat seseorang hidup dan memiliki tujuan kelompok bersama.

Klasifikasi kelompok juga diungkapkan oleh Ellsworth Farris. Ia mengkritik Cooley yang menurutnya hanya menjelaskan kelompok primer. Menurut Farris, di dalam masyarakat juga terdapat kelompok sekunder yang formal, tidak pribadi, dan berciri kelembagaan. Contoh kelompok sekunder adalah koperasi dan partai politik.

Klasifikasi W.G. Sumner
Sumner membagi kelompok menjadi dua, yaitu in-group dan out-group. Menurut Sumner, dalam masyarakat primitif yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil dan tersebar di suatu wilayah terdapat pembagian jenis kelompok, yaitu kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group).

Di kalangan kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerja sama, keteraturan, dan kedamaian. Apabila kelompok dalam berhubungan dengan kelompok luar, muncullah rasa kebencian, permusuhan, perang, atau perampokan. Rasa kebencian itu diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain dan menimbulkan perasaan solidaritas dalam kelompok (in-group feeling). Anggota kelompok menganggap kelompok mereka sendiri sebagai pusat segala-galanya (etnosentris).

Kajian dari Sumner ini bisa digunakan untuk menjelaskan masalah tawuran antarsiswa. Sebagaimana masyarakat primitif, di kalangan siswa dari suatu sekolah dapat muncul in-group feeling yang kuat, yang terwujud dalam rasa solidaritas, kesetiaan, dan pengorbanan. Perasaan ini dapat memicu etnosentrisme sehingga mereka memandang siswa dari sekolah lain dengan penuh rasa permusuhan, kebencian, dendam, dan hasrat ingin menyakiti. Rasa permusuhan antarsekolah ini diwariskan oleh satu angkatan siswa ke angkatan siswa yang lain.

Klasifikasi Soerjono Soekanto
Berbeda dengan Durkheim, Tonnies, Cooley, Farris, dan Sumner, Soerjono Soekanto membagi jenis kelompok berdasarkan enam hal, yaitu besar kecilnya jumlah anggota, kepentingan wilayah, derajat organisasi, derajat interaksi sosial, kesadaran terhadap jenis yang sama, serta hubungan sosial.

Berdasarkan Besar Kecilnya Jumlah Anggota
Kelompok sosial dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah anggotanya. Menurut George Simmel, bentuk terkecil kelompok sosial terdiri dari satu orang sebagai fokus hubungan sosial yang dinamakan, monad. Kemudian, monad dikembangkan dengan meneliti kelompok-kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang yang disebut dyad dan triad, serta kelompok-kelompok kecil lainnya. Di samping itu, sebagai perbandingan, Simmel menelaah kelompok-kelompok yang lebih besar, yaitu kelompok yang anggotanya masih saling mengenal (face-to-face groupings). Contoh kelompok jenis ini adalah keluarga, rukun tetangga, dan desa. Kelompok itu dapat berkembang juga menjadi kelompok-kelompok sosial yang lebih luas seperti kota, korporasi, dan negara, di mana anggota-anggotanya tidak memiliki hubungan yang erat.

Berdasarkan Pada Kepentingan dan Wilayah
Ukuran lain yang menentukan jenis kelompok sosial adalah kepentingan dan wilayah. Suatu komunitas, misalnya, merupakan kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan atas dasar wilayah yang tidak mempunyai kepentingan-kepentingan khusus tertentu. Berbeda dengan komunitas asosiasi justru dibentuk untuk memenuhi kepentingan tertentu. Sudah tentu anggota-anggota komunitas maupun asosiasi sedikitnya sadar terhadap adanya kepentingan-kepentingan bersama, walaupun tidak dikhususkan secara terinci.

Berlangsungnya suatu kepentingan merupakan ukuran lain bagi klasifikasi tipe-tipe sosial. Suatu kerumunan (ephimeral group) misalnya merupakan kelompok yang hidup sebentar saja karena kepentingannya tidak berlangsung lama. Lain halnya dengan kelas atau komunitas yang kepentingannya relatif tetap.

Berdasarkan Derajat Organisasi
Berdasarkan derajat organisasi, kelompok sosial dapat berupa kelompok yang terorganisasi dengan baik sekali, seperti negara, sampai dengan kelompok yang tak terorganisasi seperti kerumunan.

Berdasarkan Kesadaran terhadap Jenis yang Sama
Berdasarkan kesadaran terhadap jenis yang sama, kelompok sosial dapat dibagi atas in-group dan out-group. Setiap kelompok sosial di mana saja berada selalu memiliki apa srang disebut kelompok in-group (kelompok dalam) dan out-group (kelompok di luar kelompoknya).

Pada in-group, orang mendapatkan pemahaman bahwa "kami" berbeda dengan "mereka". Artinya, terdapat identitas yang membedakan antara orang-orang di dalam kelompok dan orang-orang yang berada di luar kelompok. Identitas yang dimiliki bersama di dalam kelompok menjadi "kami" atau "milik kami". Sebaliknya identitas yang berasal dari luar kelompok disebut dengan istilah "mereka" atau "milik mereka".

Sikap in-group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu mempunyai perasaan dekat pada anggota-anggota kelompoknya, sedangkan sikap terhadap out-group selalu ditandai dengan antagonisme atau antipati. Perasaan in-group dan out-group atau perasaan dalam dan luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan etnosentrisme.

In-group maupun out-group dapat dijumpai di semua masyarakat, walaupun kepentingan-kepentingannya tidak selalu sama. Dalam masyarakat yang sederhana jumlahnya tidak begitu banyak dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks.

Berdasarkan Hubungan Sosial dan Tujuan
Berdasarkan hubungan sosial dan tujuan, kelompok sosial dapat dibedakan menjadi kelompok primer dan kelompok sekunder.
1. Kelompok primer (primary group) adalah kelompok-kelompok yang saling mengenal anggotanya, serta terdapat kerja sama yang bersifat pribadi. Contoh kelompok primer adalah keluarga, kelompok sepermainan, dan rukun tetangga. Jadi, kelompok primer merupakan suatu kelompok di mana orang dapat mengenal orang lain secara pribadi dan akrab.

Hal tersebut dilakukan melalui hubungan yang bersifat informal, akrab, personal, spontan, sentimental, dan eksklusif. Syarat-syarat kelompok primer adalah sebagai berikut.
a) Anggota kelompok secara fisik saling berdekatan dan terdapat interaksi yang intensif.
b) Kelompok tersebut merupakan kelompok kecil, sehingga tiap individu relatif mudah untuk berinteraksi secara langsung.
c) Terdapat hubungan yang langgeng antaranggota yang bersangkutan, biasanya ada hubungan darah, kekerabatan, ataupun pertemanan.

2. Kelompok sekunder (secondary group) adalah kelompok-kelompok besar yang terdiri dari banyak orang, hubungannya tidak harus saling mengenal secara pribadi, kurang akrab, dan sifatnya tidak begitu langgeng karena mereka berkumpul berdasarkan kepentingan yang sama. Contoh kelompok sekunder antara lain terdapat pada orang-orang yang melakukan hubungan kontrak (jual-beli) yang melibatkan munculnya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hubungan ini sangat rentan terhadap konflik, terutama jika salah satu pihak melanggar hak-haknya.

Dalam konteks Indonesia, kelompok primer dan kelompok sekunder tercermin dalam paguyuban dan patembayan.
1. Paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya memiliki hubungan batin yang kuat, bersifat alamiah, serta bersifat kekal. Contohnya, hubungan yang terdapat dalam keluarga, kelompok kekerabatan dan hubungan dengan tetangga pada masyarakat tradisional atau pada masyarakat pedesaan. Menurut Tonnies, paguyuban memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a) Intim, yaitu hubungan menyeluruh yang mesra.
b) Privat, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja.
c) Eksklusif, hubungan tersebut hanya untuk kelompoknya sendiri dan bukan untuk orang luar.

Paguyuban dapat dibedakan atas 3 tipe, sebagai berikut.
a) Paguyuban karena ikatan darah atau keturunan. Contohnya, keluarga dan kelompok kekerabatan.
b) Paguyuban karena tempat tinggal, yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggalnya sehingga dapat saling tolong-menolong. Contohnya, rukun tetangga, rukun warga, dan kelompok arisan.
c) Paguyuban karena jiwa dan pikiran, yaitu paguyuban yang anggotanya memiliki jiwa dan pikiran dan ideologi yang sama.

2. Patembayan merupakan bentuk kehidupan bersama di mana di antara anggotanya terdapat ikatan lahir yang bersifat pokok dalam jangka waktu yang relatif pendek. Strukturnya bersifat mekanis seperti mesin yang setiap komponennya memiliki fungsi atau kegunaan. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat patembayan yang diutamakan adalah berlangsungnya suatu hubungan perjanjian atau kontrak yang memiliki tujuan tertentu dan bersifat rasional. Masyarakat patembayan bersifat sementara. Contoh patembayan adalah hubungan dalam dunia industri atau organisasi politik.

Syarat dan Ciri-Ciri Kelompok Sosial

Apakah semua himpunan manusia dapat disebut kelompok sosial? Robert K. Merton menyebutkan tiga kriteria suatu kelompok, yaitu:
1. memiliki pola interaksi,
2. pihak yang berinteraksi mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok, dan
3. pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok.

Menurut Merton, kelompok berbeda dengan perkumpulan. Perkumpulan adalah sejumlah orang yang mempunyai solidaritas berdasarkan nilai bersama serta memiliki kewajiban moral untuk menjalankan peran yang diharapkan. Di dalam perkumpulan tidak ada unsur interaksi yang menjadi kriteria utama bagi kelompok. Kelompok juga berbeda dengan kategori sosial yang merupakan suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama, seperti jenis kelamin atau usia. Di antara himpunan orang-orang yang berperan itu tidak ada interaksi.

Menurut Soerjono Soekanto, himpunan manusia baru dapat dikatakan sebagai kelompok sosial apabila memiliki beberapa persyaratan berikut.
1. Adanya kesadaran sebagai bagian dari kelompok yang     bersangkutan.
2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lainnya dalam kelompok itu.
3. Ada suatu faktor pengikat yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok, sehingga hubungan di antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat berupa kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain-lain.
4. Memiliki struktur, kaidah, dan pola perilaku yang sama.
5. Bersistem dan berproses.

Suatu kelompok sosial dan cenderung tidak bersifat statis, tetapi selalu berkembang mengalami perubahan-perubahan, baik dalam aktivitas maupun bentuknya. Coba perhatikan kelompok masyarakat di daerahmu!

Sistem Kepercayaan (Religi)

Dalam menghadapi lingkungannya, manusia kadang merasa bahwa kemampuannya sangat terbatas. Karena itu, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini. Manusia menyakini bahwa penguasa itu pulalah yang mengendalikan manusia. Keyakinan itu kemudian diformulasikan dalam serangkaian perilaku dan tata cara berhubungan dengan penguasa tertinggi tersebut. Manusia juga kemudian mengembangkan sistem nilai dan norma yang berhubungan dengan dosa dan tabu. Pelanggaran terhadap nilai dan norma itu diyakini akan menimbulkan angkara murka dari sang penguasa. Keyakinan, perilaku, tata cara, sistem nilai, dan norma yang disebut sistem kepercayaan.

Seorang sosiolog bernama Edward Burnett Taylor telah meneliti tentang asal mula munculnya religi atau sistem kepercayaan. Menurutnya, tumbuhnya religi dimulai dari kesadaran manusia akan adanya roh yang tidak nyata di alam ini, terutama roh dari orang-orang yang telah meninggal. Untuk berbagai keperluan, manusia kemudian mulai memuja roh-roh tersebut karena mereka yakin bahwa roh-roh tersebut dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Dari sinilah kemudian berkembang kepercayaan animisme yang sisa-sisanya masih banyak kita jumpai pada suku-suku bangsa di Indonesia hingga sekarang.

Ahli lain bernama R. Marett mengemukakan bahwa manusia paling purba pun telah mengenal religi. Dalam tingkat religi yang sederhana, manusia pada masa lalu menganggap bahwa pada benda-benda atau gejala-gejala alam yang luar biasa terdapat kesaktian. Kepercayaan yang dianggap mendahului kepercayaan animisme ini disebut pra-animisme. Istilah lainnya adalah dinamisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa benda-benda tertentu di alam semesta ini mengandung kekuatan gaib. Istilah antropologi untuk kepercayaan semacam itu adalah mana, sehingga kepercayaan ini sering juga disebut manaisme.

Robertson Smith mengemukakan bahwa religi tertua dari umat manusia adalah pemujaan terhadap totem. Totemisme adalah suatu kepercayaan bahwa manusia diri merupakan keturunan dari suatu jenis binatang atau tumbuhan tertentu. Dengan kepercayaan ini, mereka memuja binatang atau tumbuh-tumbuhan serta membangun tiang totem sebagai pusat pemujaan.

Sementara itu, Emile Durkheim mengemukakan bahwa religi muncul dari sentimen kemasyarakatan. Rasa atau emosi keagamaan timbul dalam batin manusia sebagai akibat adanya sentimen kemasyarakatan.

Wujud dari sentimen kemasyarakatan ini dapat berupa rasa cinta, rasa bakti, dan rasa terikat. Sentimen ini muncul karena adanya suatu perasaan pada setiap anggota masyarakat bahwa kehidupan tiap individu dipengaruhi anggapan yang bersifat kolektif.

Sentimen kemasyarakatan yang menimbulkan emosi keagamaan tersebut harus selalu dikobarkan. Untuk itu, diperlukan suatu objek yang bersifat sakral sebagai pusat upacara kemasyarakatan. Objek tersebut adalah totem.

Dalam suku-suku bangsa Indonesia saat ini, sistem kepercayaan sangat dipengaruhi oleh kehadiran agama-agama besar, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Namun demikian, pada beberapa suku bangsa, kepercayaan asli (animisme dan dinamisme) masih hidup dan berkembang.

Dari keseluruhan uraian tentang unsur-unsur kebudayaan di atas, terlihat bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut tidaklah berdiri sendiri. Setiap unsur memiliki keterkaitan atau hubungan satu sama lainnya. Sebagai contoh, dalam sistem mata pencaharian bertani suku bangsa Manggarai di Flores, terdapat tanah pertanian yang disebut Linqko. Lingko dibagi kepada seluruh anggota masyarakat (klen) dengan sistem yang disebut lodok (sistem kekerabatan). Setelah terbagi, masing-masing anggota mengolah tanahnya sendiri dengan berbagai peralatan dan teknologi. Pada saat panen, terdapat upacara yang disebut Penti. Upacara ini adalah upacara mengucap syukur kepada penguasa alam semesta yang telah memberikan berkat kepada mereka berupa hasil panen yang melimpah. Biasanya, dalam upacara itu, masyarakat akan menari dan melantunkan sejumlah lagu (kesenian). Seluruh anggota klen diundang dalam acara tersebut.

Sistem Ilmu dan Pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, logika, atau kegiatan-kegiatan yang bersifat coba-coba (trial and error).

Setiap masyarakat pasti membutuhkan pengetahuan tentang alam sekelilingnya dan sifat-sifat dari peralatan yang dipakainya. Setiap kebudayaan selalu mempunyai suatu kompleks (himpunan) pengetahuan tentang alam, tentang segala tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia di sekitarnya, terutama yang berasal dari pengalaman-pengalaman masyarakatnya. Dengan pengetahuan tersebut, ia bisa merancang cara-cara untuk mempertahankan atau melangsungkan hidupnya. Berikut ini sejumlah pengelompokan sistem pengetahuan masyarakat.

1. Pengetahuan tentang alam, yang meliputi pengetahuan tentang musim, atau gejala-gejala alam yang dikembangkan dari dongeng-dongeng atau mitos. Pengetahuan tentang alam sekitar, umumnya terbentuk untuk tujuan praktis, misalnya berburu dan menangkap ikan. Sebagai contoh, pengetahuan akan bulan gelap dan bulan terang (bulan purnama) pada masyarakat nelayan tradisional biasanya digunakan untuk menentukan kapan harus melaut (menangkap ikan).

2. Pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya. Kelompok pengetahuan ini umumnya terbentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap bahan-bahan makanan dan perumahan. Mereka mengetahui tumbuh-tumbuhan apa saja yang dapat dimakan, dibuat rumah, atau dibuat peralatan. Selain itu, pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan juga berkembang menjadi pengetahuan tentang obat-obatan.

3. Pengetahuan tentang tubuh manusia. Pengetahuan ini umumnya terbentuk sebagai usaha pengobatan berbagai penyakit.

4. Pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia. Kelompok pengetahuan ini yang dikembangkan untuk mengatur pergaulan antarsesama manusia dalam masyarakat. Mereka mengetahui apa yang baik dan dianjurkan oleh kebudayaannya, serta apa yang dilarang dan diberi sanksi oleh masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh, sopan-santun pergaulan, norma, dan hukum.

5. Pengetahuan tentang ruang dan waktu. Pengetahuan ini dikembangkan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk menghitung, mengukur, menimbang, menentukan jenjang periode (waktu), serta menentukan penanggalan dan pengetahuan tentang alam semesta lainnya.

Proses akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme, dan integrasi

Hubungan antarkelompok juga diwarnai dengan pola-pola tertentu yang khas. Terhadap kelompok ras, Banton mengemukakan bahwa terdapat berbagai kemungkinan pola hubungan antarkelompok ras. Di antaranya adalah proses akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme, dan integrasi.

1. Akulturasi terjadi ketika kebudayaan kedua kelompok ras yang bertemu mulai berbaur dan berpadu. Akulturasi terjadi tidak hanya pada masyarakat yang posisinya relatif sama, tetapi juga pada masyarakat yang posisinya berbeda. Dalam proses akulturasi terjadi pula dekulturasi, contohnya hilangnya kebudayaan asli daerah akibat interaksi paksa dengan pemerintah kolonial Belanda.

2. Dominasi terjadi bila suatu kelompok ras menguasai kelompok lain. Contohnya, kedatangan bangsa Eropa ke benua Afrika dan Asia untuk memperoleh sumber alam yang dilanjutkan dengan dominasi atas penduduk setempat. Dalam kaitan dengan dominasi, Kornblum menyatakan bahwa terdapat empat macam kemungkinan proses yang dapat terjadi dalam suatu hubungan antarkelompok, yaitu genosida, pengusiran, perbudakan, segregasi, dan asimilasi.

a. Genosida adalah pembunuhan secara sengaja dan sistematis terhadap anggota kelompok tertentu. Contohnya, pembunuhan orang Yahudi oleh pemerintah Nazi Jerman.
b. Pengusiran. Contohnya, pengusiran warga Palestina oleh Pemerintah Israel dari tepi Barat Sungai Jordan.
c. Perbudakan. Contoh, sistem kerja rodi yang dilakukan pada penjajahan Jepang di Indonesia.
d. Segregasi, yaitu suatu pemisahan antara warga kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan pada masa politik Apartheid.
e. Asimilasi.

3. Paternalisme adalah suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas kelompok ras pribumi. Pola ini muncul apabila kelompok pendatang, yang secara politik lebih kuat, mendirikan koloni di daerah jajahan. Dalam pola hubungan ini, Banton membedakan tiga macam masyarakat, sebagai berikut.
a. Masyarakat metropolitan (di daerah asal pendatang).
b. Masyarakat kolonial yang terdiri atas para pendatang dan sebagian dari masyarakat pribumi.
c. Masyarakat pribumi yang dijajah.

4. Integrasi adalah suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan perhatian khusus pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak berkaitan dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih dengan usaha.

5. Pluralisme adalah suatu pola hubungan yang mengakui adanya persamaan hak politik dan hak perdata masyarakat. Akan tetapi, pola hubungan itu lebih terfokus pada kemajemukan kelompok ras daripada pola integrasi. Menurut Furnivall, masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok berbeda. Tiap kelompok tersebut tercampur tetapi tidak membaur. Contohnya, adalah masyarakat Indonesia pada masa penjajahan Belanda di mana terdapat tiga kelompok ras yang hidup berdampingan dalam satuan politik, namun terpisah. Ketiga kelompok ras itu adalah kelompok Eropa, kelompok Timur Asing, dan kelompok pribumi.

Ahli lain, yakni Lieberson, mengklasifikasikan pola hubungan antarkelompok menjadi dua pola berikut.
1) Pola dominasi kelompok pendatang atas pribumi (migrant superordination). Contohnya adalah kedatangan bangsa Eropa ke benua Asia, Afrika, dan Amerika.
2) Pola dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous superordination). Contohnya adalah dominasi kelompok kulit putih Perancis atas kelompok pendatang dari Aljazair, Cina, ataupun Turki.

Banton berpendapat bahwa suatu pola mempunyai kecenderungan untuk lebih berkembang ke suatu arah tertentu. Pola dominasi cenderung mengarah pada pola pluralisme, sedangkan pola akulturasi dan paternalisme cenderung mengarah pada pola integrasi.

Peralatan dan Perlengkapan Hidup

Hasil karya manusia melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama melindungi masyarakat dari lingkungannya. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul sebagai cara-cara manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, sebagai cara-cara manusia untuk mengorganisasikan masyarakat, serta sebagai cara-cara manusia untuk mengekspresikan rasa keindahan.

Teknologi pada hakikatnya meliputi tujuh unsur berikut ini.
Alat-Alat Produksi
Yang dimaksud dengan alat-alat produksi adalah alat-alat yang berfungsi untuk melaksanakan suatu pekerjaan produktif. Contoh alat produksi adalah jala ikan, alat penenun kain, alat pemintal benang, cangkul, bajak, mesin percetakan, robot, dan kendaraan. Alat-alat digunakan oleh manusia untuk membantunya dalam menghasilkan sesuatu yang ia perlukan bagi kehidupan. Sebagai contoh, jala ikan dipakai para nelayan untuk menangkap ikan di laut. Hasil tangkapan ini akan dijual sehingga menghasilkan pendapatan baginya. Bentuk dan bahan pembuatan alat-alat ini sangat tergantung pada jenis pekerjaannya. Ada yang terbuat dari benang, kayu, atau besi. Ada yang digerakan dengan mesin. Ada pula yang digerakan dengan tenaga manusia atau hewan.

Senjata
Dalam masyarakat tradisonal, selain digunakan untuk membela diri dari ancaman kelompok lain dan binatang buas, senjata juga dipergunakan untuk berburu dan memperoleh makanan. Dalam hal ini senjata berfungsi sebagai alat produktif. Dalam masyarakat modern, senjata tidak lagi digunakan untuk mencari makanan tetapi lebih sebagai alat membela diri dan olahraga.

Wadah
Wadah adalah alat atau piranti yang berfungsi untuk menampung, menimbun, dan menyimpan barang-barang. Contoh wadah adalah periuk, piring, guci, dan teko. Wadah dapat dibuat dari bambu, kayu, kulit, serat, tanah, batu, kaca, dan logam. Setiap masyarakat dengan berbagai tingkat peradaban telah mengenal teknologi pembuatan wadah. Zaman dahulu, masyarakat mengenal pembuatan wadah yang disebut tembikar dari bahan tanah liat. Saat ini, wadah dapat dibuat dari berbagai macam bahan sesuai dengan fungsinya.

Makanan dan Minuman
Makanan dan minuman merupakan barang konsumsi. Makanan dapat dikelompokkan atas buah-buahan, akar-akaran, biji-bijian, daging, dan ikan. Namun saat ini terdapat pula berbagai jenis makanan yang dibuat dari bahan tertentu, misalnya tepung. Tepung dapat diolah menjadi mie, biskuit, dan roti.

Di setiap masyarakat ditemukan cara-cara mengolah makanan yang bisa berbeda-beda, tergantung pada jenis teknologi yang dikuasai oleh masyarakat setempat. Pada masyarakat tradisional, pengolahan makanan dilakukan dengan dibakar atau dipanaskan di atas tungku api. Bahan makanan yang biasanya dibakar adalah daging dan umbi-umbian. Saat ini, di berbagai toko atau supermarket dapat kita temukan makanan-makanan yang tidak lagi perlu diolah, misalnya permen dan biskuit.

Pakaian dan Perhiasan
Bahan pakaian yang kita kenal sejak dahulu dapat berupa dedaunan, kulit pohon, kulit hewan, hingga bahan-bahan yang ditenun atau dirajut dengan teknologi tertentu. Pembuatan pakaian umumnya dilakukan dengan cara memintal, menenun, atau dengan menggunakan teknologi mesin seperti yang ada di pabrik-pabrik pakaian.

Berdasarkan fungsinya, pakaian dibedakan atas pakaian yang semata-mata untuk menahan pengaruh iklim, pakaian sebagai lambang keunggulan dan gengsi, pakaian sebagai lambang kesucian, dan pakaian sebagai perhiasan badan (mode). Di Indonesia, setiap suku bangsa umumnya mengembangkan corak pakaiannya yang disesuaikan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat Jawa misalnya, memiliki pakaian daerah yang disebut kebaya dan batik. Suku bangsa Manggarai memiliki pakaian daerah yang disebut songke dan bali belo.

Selain pakaian sebagai perlengkapan busana, manusia mengenal berbagai perhiasan seperti gelang, kalung, bando, sabuk pinggang, cincin, dan sepatu. Perhiasan-perhiasan ini terbuat dari bahan yang beragam. Ada yang terbuat dari bahan alumunium, emas, kuningan, tembaga, besi, karet, plastik, manik-manik, bahkan kerangka hewan, seperti siput dan kerang.

Sama seperti pakaian, perhiasan umumnya menjadi tanda status sosial seseorang. Pada zaman dulu, orang yang menggunakan perhiasan dari emas yang melingkar hampir di seluruh tubuhnya menunjukkan kalau ia berasal dari kalangan bangsawan atau keluarga kerajaan. Pada saat ini, semakin mahal dan bermerek perhiasan seseorang, semakin tinggi pula kelas sosial orang yang mengenakannya.

Tempat Berlindung dan Perumahan
Wujud kebudayaan yang paling menonjol pada masyarakat hingga sekarang ini adalah tempat berlindung atau perumahan. Pada masyarakat tradisional, tempat berlindung atau rumah umumnya berupa gua-gua tanah atau batu. Ada pula rumah yang terbuat dari dedaunan, akar dan kulit-kulit kayu atau tanah liat. Pada masyarakat ini, ukuran dan model rumah tidak diperhatikan.

Di beberapa tempat bersalju abadi, penduduk membuat rumah dari balok-balok es, tulang-tulang, dan kulit hewan. Di daerah-daerah peternakan di kawasan padang rumput, rumah terbuat dari ranting-ranting kayu dan kulit hewan yang dikeringkan. Pada masyarakat modern, perumahan dibangun dengan ukuran, bentuk dan bahan-bahan yang bervariasi. Pada umumnya, rumah dibuat dari bahan dasar batu, pasir dan tanah liat atau semen, serta besi.

Ada tiga macam bentuk pokok dari rumah manusia, yaitu rumah yang setengah di bawah tanah, rumah di atas tanah, dan rumah di atas tiang-tiang (rumah panggung). Berdasarkan pemakaiannya, rumah dibedakan menjadi rumah tempat tinggal keluarga kecil, rumah tempat tinggal keluarga besar, rumah suci, rumah pemujaan, rumah tempat berkumpul umum, dan rumah untuk pertahanan atau benteng.

Di Indonesia, setiap suku bangsa umumnya memiliki bentuk atau corak rumah yang berbeda-beda. Hal ini biasanya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan hidup masyarakatnya. Sebagai contoh, rumah adat suku bangsa Manggarai di Flores berbentuk panggung. Hal ini sesuai dengan kebiasaan masyarakatnya yang memelihara ternak di bawah rumahnya.

Alat-Alat Transportasi
Manusia adalah makhluk yang selalu bergerak, baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh. Keinginan untuk melakukan perjalanan dan kembali ke pemukimannya secara cepat dan efesien mendorong manusia menciptakan alat-alat transportasi. Alat-alat ini diciptakan bertahap, mulai dari alat yang sederhana, seperti rakit dan gerobak hingga alat yang berteknologi tinggi, seperti mobil, sepeda motor, dan pesawat terbang.

Pada zaman ini, mobil dan sepeda motor tidak hanya dipakai sebagai alat transportasi tetapi juga alat rekreasi dan olahraga. Selain itu, alat-alat transportasi, ini juga bisa menjadi tanda kelas sosial seseorang. Semakin tinggi kelas sosial seseorang, makin mahal dan mewah alat transportasinya.

Sistem Mata Pencaharian
Saat ini, mata pencaharian manusia sangatlah beragam. Beberapa sistem mata pencaharian yang dikenal masyarakat adalah sebagai berikut.

Berburu dan Meramu
Berburu dan meramu merupakan jenis mata pencaharian masyarakat yang paling tua. Sistem mata pencaharian berburu dilakukan langsung dengan cara menangkap dan mengkonsumsi hewan-hewan hasil buruan. Meramu dilakukan dengan cara mengambil dan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan secara langsung.

Pada zaman dahulu, selain menggunakan teknik-teknik berburu konvensional seperti dengan tombak, kegiatan perburuan juga menggunakan ilmu gaib, seperti dengan upacara-upacara tertentu. Pada zaman itu, perburuan dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari anggota keluarga sendiri. Kelompok dipimpin oleh seseorang yang memang dipilih untuk memimpin aktivitas ini. Pembagian hasil buruan didasarkan status atau peran seseorang dalam kelompok tersebut. Seorang pemimpin kelompok tentu mendapat bagian yang lebih banyak daripada anggota kelompok lainnya.

Beternak
Peternakan merupakan salah satu mata pencaharian yang diusahakan secara besar-besaran dan terdapat di berbagai daerah. Peternakan dikembangkan di daerah-daerah yang ditumbuhi padang rumput (sabana dan stepa), misalnya di Asia Tengah dan beberapa kawasan di benua Afrika.

Beberapa suku bangsa peternak memiliki sifat yang agresif. Hal ini disebabkan kepentingan mereka untuk secara terus-menerus menjaga keamanan ternak-ternak mereka dari serangan atau pencurian kelompok-kelompok lain.

Umumnya, kelompok-kelompok peternak juga memerlukan kebutuhan lain selain daging dan susu. Mereka juga membutuhkan beras, gandum atau sayur-sayuran. Untuk itu, kelompok-kelompok ini melakukan hubungan dengan kelompok-kelompok lainnya yang bercocok tanam. Mereka melakukan kegiatan tukar menukar atau berdagang. Namun tidak jarang hal itu dilakukan untuk menguasai dan menjajah kelompok-kelompok lain.

Pada zaman dahulu, kegiatan peternakan dilakukan dalam lingkup keluarga. Artinya, seluruh pekerja peternakan tersebut adalah anggota sebuah keluarga. Pada zaman sekarang, aktivitas ini telah berkembang sebagaimana kegiatan ekonomi lainnya. Mereka mempekerjakan orang lain yang dibayar dengan upah tertentu. Selain itu, pemasarannya tidak lagi hanya terbatas pada lingkup desa atau daerah, tetapi juga lintas negara.

Bertani
Pada masyarakat tradisional, pengolahan tanah pertanian masih dilakukan dengan teknologi-teknologi sederhana. Umumnya, lahan pertaniannya sempit dan sangat tergantung pada alam. Hasil pertanian sebagian besar untuk konsumsi sendiri, sedangkan sisanya untuk dijual keperluan lainnya. Umumnya masyarakat pertanian mengenal adanya tuan tanah, petani, dan buruh tani. Tuan tanah adalah pemilik tanah pertanian. Petani adalah orang yang memanfaatkan tanah pertanian, sedangkan buruh tani adalah orang yang dipekerjakan untuk mengolah tanah pertanian.

Pada masyarakat modern, pengolahan tanah dilakukan dengan memanfaatkan teknologi mutakhir, seperti dengan menggunakan traktor. Bagi dunia pertanian, teknologi berguna untuk menghasilkan panen yang berlipat ganda.

Menangkap Ikan
Menangkap ikan di sungai, danau, atau laut merupakan jenis mata pencaharian yang juga cukup tua selain usaha berburu dan meramu. Menangkap ikan umumnya merupakan usaha sambilan di samping bercocok tanam. Akan tetapi lambat laun beberapa kelompok masyarakat menjadikannya sebagai usaha utama sebagaimana para nelayan atau masyarakat pesisir saat ini.

Pada masyarakat tradisional, kegiatan menangkap ikan umumnya dilakukan dengan teknologi yang sangat sederhana. Mereka umumnya hanya menggunakan jala kecil dengan perahu dayung, perahu layar, atau dengan perahu bermesin kecil. Mereka umumnya menangkap ikan tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Hasil tangkapan mereka umumnya sedikit dan sebagian besar untuk konsumsi sendiri.

Pada masyarakat modern, kegiatan menangkap ikan umumnya sudah dilakukan dengan teknologi yang maju. Mereka menggunakan jala atau alat pancing yang besar dengan kapal-kapal besar yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pengawetan. Para nelayan ini umumnya bisa menjangkau daerah laut yang luas bahkan hingga ke samudera luas. Hasil tangkapan mereka umumnya untuk dijual ke perusahaan-perusahaan makanan atau restoran-restoran.

Selain, sistem mata pencaharian yang telah disebutkan di atas, terdapat banyak sistem mata pencaharian lain yang kita kenal saat ini. Di antaranya sistem mata pencaharian di bidang jasa. Sistem mata pencaharian ini tidak menghasilkan produk seperti halnya sistem mata pencaharian pertanian dan peternakan. Sistem ini hanya memanfaatkan jasa seseorang atau kelompok. Contoh mata pencaharian bidang jasa adalah konsultan hukum dan jasa pengiriman barang.

Pengertian Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan. Yang termasuk ke dalam anggota kekerabatan adalah ayah, ibu, anak-anak, menantu, cucu, kakak, paman, bibi, kakek-nenek, dan seterusnya.

Suatu perkawinan membuat dua kelompok kerabat besar bergabung menjadi satu. Hubungan ini tidak terbatas dalam bidang kekeluargaan saja, tetapi juga kadang-kadang dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.

Penghubung antara kedua kelompok kekerabatan ini adalah keluarga yang beranggota suami, istri, dan anak-anak. Keluarga-keluarga yang dibentuk lewat perkawinan itu lalu membentuk kesatuan-kesatuan sosial yang disebut group atau kelompok.

Kelompok kekerabatan umumnya dapat dibedakan atas beberapa jenis. Berikut ini jenis-jenis kelompok kekerabatan dalam ilmu sosiologi.
1. Keluarga Ambilineal Kecil. Kelompok kekerabatan ini biasanya beranggotakan kira-kira 25-30 orang. Keluarga ambilineal kecil ini menghidupkan rasa solidaritasnya karena mereka menguasai sejumlah harta produktif yang dapat dinikmati bersama. Harta produktif itu biasanya berupa tanah, kolam, kebun, sawah, dan ternak.

2. Keluarga Ambilineal Besar. Anggota dalam kelompok ini terdiri atas beberapa generasi hingga jumlah anggotanya mencapai ratusan orang. Umumnya, akibat jumlah yang demikian banyak itu, anggota kelompok tidak lagi saling mengenal secara mendalam. Mereka akan berkumpul pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat upacara keagamaan.

3. Klen Kecil. Klen kecil merupakan suatu bentuk kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan melalui garis-garis keturunan laki-laki saja atau garis keturunan perempuan saja. Umumnya, mereka mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka. Mereka saling mengenal dan bergaul karena sebagian besar masih tinggal bersama dalam satu desa atau lingkungan pemukiman, bahkan dalam satu rumah.

4. Klen Besar. Klen besar merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan seorang nenek moyang baik laki-laki maupun perempuan. Keanggotaannya ditarik menurut garis keturunan ibu atau garis keturunan ayah. Karena itu jumlahnya mencapai ribuan orang. Akibatnya, mereka umumnya tidak saling mengenal. Namun demikian, warga klen besar umumnya disatukan oleh tanda-tanda lahiriah yang dimiliki bersama. Tanda-tanda itu biasanya berupa nama, nyanyian-nyanyian, dongeng-dongeng suci, dan lambang-lambang.

5. Fratri. Fratri adalah kelompok-kelompok kekerabatan yang patrilineal (menurut garis keturunan ayah) atau matrilineal (menurut garis keturunan ibu). Sifatnya lokal dan merupakan gabungan dari kelompok-kelompok klen setempat, baik yang berskala besar maupun yang berskala kecil.

6. Paroh Masyarakat (Moeity). Paroh masyarakat adalah kelompok kekerabatan gabungan klen seperti fratri, tetapi selalu merupakan separoh dari suatu masyarakat. Paroh masyarakat dapat merupakan gabungan dari beberapa klen kecil atau klen besar. Contoh, pada suatu daerah terdapat 10 klen kecil. Masing-masing lima klen bergabung sehingga seolah-olah penduduk dalam suatu daerah tadi terbagi menjadi dua paroh. Kedua paroh itu masing-masing terikat oleh hubungan kekerabatan.

Organisasi Sosial
Sebagai makhluk yang saling tergantung satu sama lain, manusia selalu ingin membentuk kelompok-kelompok tertentu. Salah satu kelompok manusia itu adalah organisasi sosial. Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Organisasi sosial berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.

Berdasarkan macam atau bidang kegiatannya, organisasi sosial di dalam masyarakat dapat dikelompokkan atas bidang-bidang berikut.
1. Dalam bidang pendidikan, antara lain sekolah, lembaga pendidikan luar sekolah, universitas, dan organisasi profesi pendidikan (misalnya PGRI).
2. Dalam bidang kesejahteraan sosial, antara lain panti asuhan, pemondokan anak-anak terlantar, dan panti jompo.
3. Dalam bidang kesehatan, antara lain yayasan-yayasan kesehatan, rumah sakit, dan balai-balai pengobatan.
4. Dalam bidang keadilan, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum.

Pengertian Kelompok Sosial

Pada umumnya, manusia dilahirkan seorang diri ke dunia, akan tetapi itu tidak berarti bahwa manusia secara alami merupakan mahkluk individu semata. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang memiliki naluri untuk hidup bersama dengan manusia-manusia lain (gregariousness). Ia juga memiliki hasrat untuk menjadi satu dengan lingkungan alamnya.

Mengapa manusia senantiasa ingin hidup bersama? Selain karena nalurinya, hal itu juga disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia tidaklah sempurna. Ia memiliki sejumlah kelemahan sehingga ia membutuhkan orang lain. Sebagai contoh, dapatkah kalian memenuhi kebutuhan akan pendidikan tanpa bantuan orang lain? Tentu saja tidak, karena kita pasti membutuhkan orangtua, guru, penjaga sekolah, pembuat papan tulis, pembuat buku, pedagang alat tulis, pembuat kain, penjahit pakaian seragam, dan masih banyak lagi.

Apa yang kita sebutkan di atas, hanyalah satu dari sekian banyak kebutuhan kita. Coba identifikasikan orang-orang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian yang lainnya!

Berdasarkan refleksi itu, dapatlah kita katakan bahwa sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau kepentingan pokok bagi kehidupannya, yaitu:
1. keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya, dan
2. keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alamnya.

Keterikatan dan ketergantungan antara manusia satu dengan yang lainnya mendorong manusia untuk membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang disebut kelompok sosial atau social group. Apa itu kelompok sosial? Berikut pandangan para ahli tentang pengertian kelompok sosial.

1. Paul B. Horton berpendapat bahwa kelompok berarti setiap kumpulan manusia secara fisik (misalnya, sekelompok orang yang sedang menunggu bus kota).
2. Roland L. Warren berpendapat bahwa satu kelompok sosial meliputi sejumlah manusia yang berinteraksi dan memiliki pola interaksi yang dapat dipahami oleh para anggotanya secara keseluruhan.
3. Mayor Polak berpendapat bahwa kelompok sosial adalah sejumlah orang yang saling berhubungan dalam sebuah struktur.
4. Wila Huky berpendapat bahwa kelompok merupakan suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi atau saling berkomunikasi.
5. Robert K. Merton mendefinisikan kelompok sebagai sekumpulan orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan.
6. Mac Iver dan Charles H. Page berpendapat bahwa kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan antarmanusia dalam himpunan itu bersifat saling mempengaruhi dan dengan kesadaran untuk saling menolong.

Dari paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kelompok sosial adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan dan saling berinteraksi sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa kebersamaan dan rasa memiliki.

Pengertian Bahasa dan Kesenian

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi dan berhubungan. Sebagai alat komunikasi, bahasa dapat berupa bahasa tulis, bahasa lisan, dan bahasa gerak atau bahasa isyarat. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai berikut.
1. Sebagai alat untuk mengekspresikan aspek-aspek kejiwaan manusia, sehingga mereka dapat menarik perhatian orang lain dan membebaskan diri dari tekanan emosi.
2. Sebagai alat untuk mengadakan hubungan atau berkomunikasi antara anggota masyarakat.
3. Sebagai alat untuk bekerja sama mengadakan integrasi sosial.

Selain fungsi umum, ada pula fungsi khusus. Fungsi khusus bahasa adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari (fungsi praktis).
2. Untuk mewujudkan seni dan menyatakan keindahan, sehingga manusia dapat memuaskan rasa estetika (fungsi artistik). Fungsi artistik bahasa misalnya, terdapat pada lagu, puisi, dan karya sastra lainnya.
3. Untuk mempelajari naskah-naskah kuno (fungsi filosofis).
4. Sebagai usaha mengekploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa dengan bahasanya yang berbeda-beda. Variasi perbedaan ini muncul karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang terpisah oleh lautan. Selain itu, pada masyarakat tertentu di Indonesia terdapat pula variasi penuturan bahasa yang didasarkan pada lapisan sosial dalam masyarakat. Contohnya, dalam bahasa Jawa terdapat perbedaan-perbedaan penuturan atas dasar perbedaan kelas sosial dan usia.

Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi perasaan hati manusia. Sebagai makhluk yang ekpresif, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian baik dalam bentuk sederhana maupun kompleks.

Dipandang dari cara ekspresi manusia akan keindahan, ada tiga lapangan besar kesenian berikut ini.
1. Seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata (visual). Contoh seni rupa adalah seni patung, seni relief (ukir), seni lukis atau gambar, seni tari, dan seni rias.
2. Seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Contoh seni suara adalah seni vokal, seni instrumental.
3. Seni sastra atau kesenian yang menunjukkan keindahan bahasa. Contoh seni sastra adalah, puisi, novel, dan cerpen.

Ada juga lapangan kesenian yang mencakup kedua lapangan utama di atas yaitu seni drama. Lapangan kesenian ini mengandung unsur-unsur dari seni lukis, rias, musik, sastra, dan tari yang diintegrasikan menjadi suatu keindahan yang utuh. Seni drama biasanya bersifat tradisional (misalnya wayang orang) atau bisa bersifat modern (misalnya film).

Kesenian di Indonesia sangatlah beragam. Tiap suku bangsa di Indonesia memiliki keseniannya sendiri-sendiri. Mulai dari tari-tarian, lagu daerah, seni rupa hingga ke alat-alat musik daerah. Tarian, lagu daerah, seni rupa daerah ini umumnya menggambarkan kehidupan suku-suku bangsa tersebut. Sebagai contoh, tari Masorandat dari Papua Utara yang menggambarkan adat dan kebiasaan masyarakat pantai utara Papua dalam pemilihan dan penobatan kepala sukunya.

Pengertian akulturasi, asimilasi, inovasi, dan difusi

Telah kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis. Manusia sering berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat lainnya. Mereka sering kali melakukan perpindahan (migrasi) karena adanya ancaman alam atau karena kebutuhan mencari bahan makanan. Nenek moyang bangsa Indonesia misalnya, bermigrasi dari Yunan melalui Cina, Teluk Tonkin, Vietnam, Semenanjung Malaya, hingga Indonesia.

Perpindahan suku bangsa seperti ini mengakibatkan terjadinya pertemuan antarkelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya, individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan unsur kebudayaan para pendatang tersebut. Interaksi antarindividu yang berbeda kebudayaan ini menyebabkan masing-masing individu mengalami proses sosial tertentu, salah satunya adalah proses akulturasi.

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul ketika suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa mengakibatkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.

Asimilasi
Proses sosial lain yang terjadi akibat penyebaran kebudayaan yang berbeda adalah asimilasi. Asimilasi dalam masyarakat terjadi ketika berbagai kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda berinteraksi secara intensif dalam waktu yang lama. Akibatnya, kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia itu berubah sifat dan unsur-unsurnya sehingga menjadi kebudayaan campuran.

Proses asimilasi umumnya terjadi apabila ada sikap terbuka dari masyarakat yang berbeda kebudayaan tersebut. Artinya, harus ada sikap untuk menerima unsur-unsur kebudayaan yang lain itu. Tanpa sikap seperti itu, sebesar apapun intensitas interaksi antarkelompok tersebut, proses asimilasi tidak akan berlangsung.

Inovasi
Proses sosial lain yang dapat terjadi dalam masyarakat adalah inovasi. Inovasi adalah sebuah proses pembaruan dalam unsur kebudayaan masyarakat, yakni teknologi. Inovasi berarti penemuan baru dalam teknologi manusia.

Umumnya, inovasi dibedakan atas inovasi yang terjadi karena sengaja (invention) dan inovasi yang terjadi tanpa sengaja (discovery). Invention adalah proses munculnya suatu unsur kebudayaan baru dari kombinasi unsur-unsur kebudayaan lama yang telah ada dalam masyarakat. Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat ataupun gagasan. Discovery dapat menjadi invention jika masyarakat sudah mengakui, menerima, dan memanfaatkan hasil penemuan tersebut.

Inovasi dapat menyebabkan perubahan pada bidang-bidang lain dalam masyarakat. Inovasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem kemasyarakatan. Contoh, penemuan dalam bidang teknologi pertanian tentu akan mempengaruhi teknik atau cara para petani mengolah pertaniannya.

Difusi
Proses sosial lain yang dapat timbul akibat penyebaran kebudayaan masyarakat adalah difusi. Difusi adalah proses penyebaran kebudayaan dari satu daerah ke daerah lain yang terjadi secara langsung atau tidak langsung. Difusi dapat terjadi dalam satu kelompok masyarakat (intra society diffusion) atau antarkelompok masyarakat (inter society diffusion).

Difusi dalam satu kelompok masyarakat dapat terjadi jika:
1. adanya pengakuan dari masyarakat bahwa unsur baru tersebut berguna;
2. tidak adanya unsur kebudayaan asli yang menimbulkan penolakan masyarakat terhadap kebudayaan baru;
3. unsur kebudayaan baru tidak bertentangan dengan kebudayaan lama;
4. masyarakat memiliki peranan sosial yang bersifat mendukung penerimaan dan pengembangan kebudayaan baru; dan
5. pemimpin masyarakat tersebut dapat membatasi proses difusi.

Difusi antarmasyarakat dipengaruhi dapat terjadi jika:
1. ada kontak antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain;
2. masyarakat mampu mendemonstrasikan manfaat penemuan baru tersebut;
3. masyarakat mengakui kegunaan penemuan baru tersebut;
4. tidak ada unsur kebudayaan lain yang menyaingi unsur penemuan baru tersebut;
5. masyarakat berperan dalam menyebarkan penemuan baru tersebut; dan
6. ada paksaan untuk menerima unsur baru tersebut.

Proses difusi ini dapat berlangsung secara damai (penetration pasifique), atau secara paksa (penetration violence). Contoh difusi secara damai adalah masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia. Contoh difusi secara paksa adalah masuknya kebudayaan Barat pada masa penjajahan Belanda.

Dimensi Hubungan Antarkelompok

Sebagaimana individu berinteraksi dengan individu lain, suatu kelompok pun berinteraksi atau berhubungan dengan kelompok lain. Hubungan ini akan menghasilkan kerja sama, konflik, maupun persaingan. Menurut Kinloch, hubungan antarkelompok memiliki beberapa kriteria sebagai berikut.
1. Kriteria fisiologis. Kriteria ini didasarkan pada persamaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), usia (tua-muda), dan ras.
2. Kriteria kebudayaan. Kriteria ini mencakup kelompok yang diikat oleh persamaan kebudayaan, seperti kelompok etnik (misalnya, Batak, Minangkabau, Sunda, Ambon). Meskipun Kinloch tidak menyebutkan faktor agama, dalam banyak kasus, pengelompokkan berdasarkan agama pun dapat dimasukkan dalam kategori ini.
3. Kriteria ekonomi. Kriteria ini dibedakan antara mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi.
4. Kriteria perilaku. Kriteria ini didasarkan pada cacat fisik, cacat mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat.

Dalam hubungan antarkelompok juga terdapat berbagai macam dimensi, di antaranya adalah dimensi demografi, dimensi sikap, dimensi institusi, dimensi gerakan sosial, dan dimensi tipe utama hubungan antarkelompok. Namun, kita akan membatasi bahasan pada empat dari enam dimensi yang telah dikemukakan, yaitu dimensi sejarah, dimensi sikap, dimensi institusi, dan dimensi gerakan sosial.

1. Dimensi sejarah
Hubungan antarkelompok dilihat dari dimensi sejarah diarahkan pada masalah tumbuh dan berkembangnya hubungan antarkelompok. Hal ini terkait dengan timbulnya stratifikasi etnik, stratifikasi jenis kelamin, dan stratifikasi usia.

Stratifikasi etnik menurut Noel hanya dapat terjadi apabila memenuhi tiga syarat, yaitu (1) etnosentrisme, (2) persaingan, dan (3) perbedaan kekuasaan. Stratifikasi etnik tidak terjadi apabila ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi. Contohnya, kontak antara kelompok kulit putih dan kelompok kulit hitam di Afrika Selatan pada masa politik Apartheid. Kontak ini berkembang menjadi hubungan perbudakan. Hal ini terjadi karena adanya etnosentrisme pada kelompok kulit putih, adanya persaingan di bidang ekonomi, dan adanya kekuasaan yang lebih besar pada kelompok kulit putih.

Stratifikasi usia terkait dengan kekuasaan, hak istimewa, dan prestise yang dimiliki individu sejak mulai beranjak dewasa hingga menjelang usia tua. Setelah itu, kekuasaan, prestise, dan hak istimewa itu berkurang akibat bertambahnya usia dan kecenderungan untuk semakin tergantung dengan orang yang lebih muda.

Stratifikasi jenis kelamin terkait dengan industrialisasi, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan belum terlihat jelas. Baik laki-laki maupun perempuan saling bekerja sama dalam kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Sementara pada masa industrialisasi, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan semakin jelas dan terinci.

2. Dimensi sikap
Dalam hubungan antarkelompok sering muncul suatu prasangka dan stereotip. Prasangka (prejudice) dalam kaitannya dengan hubungan antarkelompok merupakan sikap bermusuhan yang ditujukan pada suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri yang tidak menyenangkan. Sikap ini dinamakan prasangka karena tidak didasari oleh pengetahuan, pengalaman, ataupun bukti yang memadai. Contohnya, terdapat pandangan yang menganggap bahwa orang Batak memiliki watak dan sikap yang kasar dan agresif. Selain itu, ada pula pandangan yang menganggap bahwa orang Padang memiliki sifat yang pelit. Hal ini tentu hanya prasangka yang belum dibuktikan.

Menurut Banton, istilah prasangka memiliki makna yang hampir serupa dengan istilah antagonisme dan antipati. Namun, perbedaannya, antagonisme atau antipati dapat dikurangi atau diberantas melalui pendidikan. Sebaliknya, sikap yang bermusuhan pada orang yang berprasangka cenderung tidak rasional dan berada di bawah sadar sehingga sulit diubah.

Suatu kelompok berprasangka terhadap kelompok lain disebabkan oleh keinginan untuk memperoleh kepuasan yang terhalang. Oleh karena itu, anggota melakukan agresi. Apabila agresi tidak dapat ditujukan pada pihak yang menghalangi usahanya, agresi tersebut dialihkan kepada orang lain dan dijadikan sebagai kambing hitam.

Stereotip merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka. Orang yang menganut stereotip terhadap kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok lain. Menurut Kornblum, stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Orang cenderung terlalu menyederhanakan dan tidak peka terhadap fakta objektif. Stereotip dapat bersifat negatif ataupun positif. Perempuan memiliki sifat keibuan, penyayang, dan lembut merupakan contoh stereotip positif. Sementara itu, contoh stereotip negatif adalah miskin memiliki sifat bodoh, kotor, dan tidak berbudaya.

3. Dimensi institusi
Dimensi institusi dalam hubungan antarkelompok dapat berupa institusi politik dan ekonomi. Institusi dalam masyarakat dapat memperkuat pengendalian sosial, sikap, dan hubungan antarkelompok. Institusi dapat pula berfungsi untuk menghilangkan pola hubungan antarkelompok yang ada. Maksudnya, hubungan antarkelompok menjadi bersifat birokratis saja dan tidak ada hubungan yang bersifat lebih personal selain antarinstitusi belaka. Contohnya, seorang petugas administrasi tidak perlu mengenal dengan baik,orang-orang dari instansi mana yang dihadapinya. Hubungan yang terjadi antarmereka tidak lebih dari hubungan administratif saja. Ia melayani keperluan administrasi konsumen dan konsumen membutuhkan pelayanan administrasi darinya.

4. Dimensi gerakan sosial
Hubungan antarkelompok sering melibatkan gerakan sosial, baik yang diprakarsai oleh pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh mereka yang ingin mempertahankan keadaan yang sudah ada. Misalnya, gerakan perempuan untuk menentang kekerasan dalam rumah tangga, dan gerakan perempuan konservatif yang mempertahankan peran perempuan sesuai dengan tradisi.

Selain dimensi yang telah disebutkan di atas, dalam hubungan antarkelompok juga terdapat dimensi perilaku dan dimensi perilaku kolektif. Yang termasuk dalam dimensi perilaku adalah perilaku satu kelompok terhadap kelompok lain, misalnya perilaku diskriminatif dan pemeliharaan jarak sosial. Selain itu, hubungan antarkelompok pun sering diwarnai oleh peristiwa perilaku kolektif, misalnya demonstrasi, huru-hara, pengrusakan, atau bentrok fisik.

Monday, March 28, 2016

Unsur-Unsur Kebudayaan

Kebudayaan setiap masyarakat tentu terdiri dari unsur-unsur tertentu yang merupakan bagian dari suatu kebulatan, yakni kebudayaan itu sendiri. Ada beberapa pendapat ahli tentang unsur-unsur kebudayaan.

Melville J. Herskovits menyebutkan ada 4 unsur pokok kebudayaan, yaitu alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik. Bronislow Malinowski, menyebutkan empat unsur kebudayaan, yakni:
1. sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama antara anggota masyarakat;
2. organisasi ekonomi;
3. alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan seperti keluarga; dan
4. organisasi kekuatan.

Clyde Kluckhohn menyebutkan tujuh unsur kebudayaan, yakni:
1. peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, dan transportasi);
2. mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan sistem distribusi);
3. sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan);
4. bahasa (lisan maupun tertulis);
5. kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak);
6. sistem pengetahuan; dan
7. sistem kepercayaan (religi).

Ketujuh unsur kebudayaan pokok di atas disebut sebagai kebudayaan universal (cultural universal). Unsur-unsur kebudayaan itu masih dapat dipecah-pecah lagi menjadi unsur-unsur kebudayaaan yang lebih kecil berdasarkan kegiatannya. Ralph Linton menyebutnya sebagai kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activity). Contohnya, cultural universal sistem mata pencaharian masih dipecah lagi atas cultural activity pertanian, peternakan, nelayan, dan perdagangan.

Selain itu, berdasarkan peralatan hidup, Ralph Linton merinci cultural universal dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ia menyebut unsur-unsur tersebut sebagai trait-complex. Contoh trail-complex dalam bidang pertanian adalah irigasi, sistem pengolahan tanah dengan bajak. Selanjutnya trait-complex dirinci lagi menjadi traits. Contoh, traits adalah teknik mengendalikan bajak. Selanjutnya, traits dapat dirinci lagi unsur yang lebih kecil lagi yakni items. Contoh items pada alat bajak tiang penarik, pisau bajak, dan kemudi.

Menurut Bronislaw Malinowski, setiap unsur kebudayaan tersebut memiliki kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan secara keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya.

Teori-Teori tentang Kekerasan

Teori Faktor Individual
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Agresivitas perilaku seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan, baik yang dilakukan oleh individu secara sendirian maupun bersama orang lain; secara spontan maupun direncanakan.

Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, psikoneurosis, frustrasi yang kronis, serta pengaruh obat bius. Faktor-faktor yang bersifat sosial, antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya, dan faktor media massa.

Teori Faktor Kelompok
Beberapa ahli lain mengemukakan pandangan bahwa individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama, atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang yang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab kekerasan. Contoh yang paling nyata dari hal ini dapat kita saksikan pada kerusuhan dalam pertandingan sepak bola antara dua kubu suporter. Contoh lain adalah kekerasan berbau rasial yang pernah terjadi di Poso, Maluku, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan Palestina.

Teori Dinamika Kelompok
Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif (kehilangan rasa memiliki) yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan nilai masyarakatnya. Perkembangan pengaruh perubahan itu berlangsung sangat cepat dan tidak seiring dengan perubahan atau perkembangan dalam masyarakat. Sebagai contoh, masuknya perusahaan-perusahaan internasional ke wilayah pedalaman Papua. Masuknya perusahaan-perusahaan tersebut disertai kedatangan orang-orang asing dalam masyarakat atau suku setempat. Orang-orang asing tersebut membawa berbagai teknologi, perilaku, hingga tata nilai yang sedikit banyak berbeda dengan teknologi, perilaku, dan tata nilai masyarakat setempat. Perkembangan itu menyebabkan masyarakat setempat merasa terasing dan timbullah deprivasi relatif yang dapat berakhir dengan perlawanan atau kekerasan.

Cara Pengendalian Konflik dan Kekerasan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konflik merupakan gejala sosial yang senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat. Sebagai gejala sosial, konflik hanya akan hilang bersama hilangnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah mengendalikan agar konflik tersebut tidak berkembang menjadi kekerasan (violence).

Ada tiga syarat agar sebuah konflik tidak berakhir dengan kekerasan. Ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka. Dengan kesadaran tersebut, mereka berusaha melaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur.
2. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin bisa dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas. Jika tidak, pengendalian atas konflik pun akan sulit dilakukan.
3. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan main tertentu yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan main tersebut akan menjamin keberlangsungan hidup kelompok-kelompok yang bertikai tersebut. Melalui aturan-aturan itu, setiap kelompok tersebut enggan berlaku tidak adil. Mereka juga meramalkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh kelompok lain dan memantau munculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan kedua kelompok.

Pada umumnya, masyarakat memiliki sarana atau mekanisme untuk mengendalikan konflik di dalam tubuhnya. Beberapa ahli menyebutnya sebagai katup penyelamat (safety valve), yaitu suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik.

Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara dua pihak yang berlawanan. Katup tersebut membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Katup penyelamat itu menyediakan objek-objek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-pihak yang bertikai agar tersalur ke arah lain. Namun, katup tersebut hanya merupakan sarana yang bersifat sementara. Tujuan utamanya adalah untuk menetralkan ketegangan-ketegangan yang timbul dari situasi pertentangan. Contoh katup penyelamat ini adalah badan perwakilan siswa atau dewan guru di sekolah. Melalui badan atau lembaga seperti itu, siswa atau guru dapat mengungkapkan keluhan-keluhannya.

Secara umum, ada tiga macam bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi.

Konsiliasi
Bentuk pengendalian konflik seperti ini dilakukan melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak yang bertikai. Contoh bentuk pengendalian konflik ini adalah melalui lembaga perwakilan rakyat. Berbagai kelompok kepentingan yang bertikai bertemu di dalam lembaga ini untuk menyelesaikan konflik mereka.

Agar dapat berfungsi efektif dalam menyelesaikan konflik, lembaga-lembaga konsiliasi harus memenuhi empat hal berikut.
1. Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang otonom. Keputusan yang diambilnya merupakan keputusan murni tanpa campur tangan dari lembaga lain.
2. Kedudukan lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolitis. Artinya, hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian.
3. Lembaga tersebut harus berperan agar kelompok yang bertikai merasa terikat kepada lembaga tersebut. Selain itu, keputusan-keputusannya berlaku mengikat kelompok-kelompok tersebut.
4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sebelum keputusan tertentu diambil.

Mediasi
Pengendalian konflik dengan cara mediasi dilakukan apabila kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga ini akan memberikan pemikiran atau nasihat-nasihatnya tentang cara terbaik dalam menyelesaikan pertentangan mereka. Sekalipun pemikiran atau nasihat pihak ketiga tersebut tidak mengikat, cara pengendalian ini kadang-kadang menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Cara mediasi cukup efektif untuk mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul di dalam konflik. Dengan cara mediasi, ada kemungkinan pihak-pihak yang berkonflik akan menarik diri tanpa harus "kehilangan muka".

Arbitrasi
Arbitrasi atau perwasitan umumnya dilakukan apabila kedua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik.

Pada bentuk mediasi, pemikiran atau nasihat dari pihak ketiga bukan merupakan keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang berkonflik. Sebaliknya, dalam bentuk perwasitan, kedua belah pihak harus menerima keputusan-keputusan yang diambil pihak ketiga (wasit). Dengan kata lain, pihak ketiga tidak mengarahkan konflik untuk suatu tujuan tertentu yang memenangkan salah satu pihak.

Selain sarana atau mekanisme seperti disebutkan di atas, menurut George Simmel, terdapat beberapa cara lain untuk menghentikan konflik.
1. Kemenangan salah satu pihak atas pihak lainnya. Misalnya, kemenangan tentara Sekutu atas Jepang pada Perang Dunia II dengan menjatuhkan bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki. Peristiwa pemboman tersebut mengakhiri konflik yang terjadi saat itu.

2. Kompromi atau perundingan di antara pihak-pihak yang bertikai sehingga tidak ada pihak yang sepenuhnya menang dan tidak ada pihak yang merasa kalah. Misalnya, perjanjian-perjanjian gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda pada masa perang kemerdekaan.

3. Rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai. Hal tersebut akan mengembalikan suasana persahabatan dan saling percaya di antara pihak-pihak yang bertikai. Sebagai contoh, penyelesaian konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.

4. Saling memaafkan atau salah satu pihak memaafkan pihak yang lain.

5. Kesepakatan untuk tidak berkonflik.

Pandangan Simmel tersebut tentu bukan merupakan hal yang mutlak, tetapi sangat bergantung pada kondisi konflik itu sendiri. Dengan demikian, cara-cara lain untuk mengendalikan konflik juga dapat dilakukan. Berikut ini beberapa cara pengendalian konflik yang lain.
1. Memberikan perhatian pada salah satu pihak yang berkonflik dengan cara menyuap atau menyogok.
2. Menggunakan orang ketiga di luar pihak-pihak yang sedang berkonflik. Cara ini sering disebut dengan memakai wasit atau arbitrasi.
3. Menggunakan aturan yang ketat. Hal ini merupakan cara terakhir. Cara ini digunakan apabila pihak-pihak yang sedang berkonflik mau berlindung pada peraturan-peraturan birokrasi atau hukum formal.

Sifat Kebudayaan

Secara umum, sifat-sifat kebudayaan adalah sebagai berikut.
1. Kebudayaan bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya. Masyarakat dan kebudayaan adalah dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengakibatkan setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan. Jadi, kebudayaan bersifat universal, yakni sebagai atribut setiap masyarakat di dunia ini. Namun demikian, setiap kebudayaan memiliki ciri-ciri khusus berdasarkan latar belakang atau pengalaman-pengalamannya. Contoh, Ahmad dari Indonesia dan James dari Inggris sama-sama memiliki kebudayaan (bersifat universal). Namun, Ahmad memiliki pola perilaku untuk menerima sesuatu selalu dengan menggunakan tangan kanan. Sementara James memiliki pola perilaku untuk menerima sesuatu dengan menggunakan tangan kanan atau kiri (ciri khusus kebudayaan).

2. Kebudayaan bersifat stabil dan dinamis. Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan, walaupun kecil dan seringkali tidak dirasakan oleh anggota-anggotanya. Coba perhatikan corak pakaian pada potret nenek Anda ketika masih muda, lalu bandingkan dengan corak pakaian Anda saat ini! Tentu berbeda. Itulah contoh kecil perubahan dalam masyarakat. Umumnya, unsur kebendaan seperti teknologi lebih terbuka untuk sebuah proses perubahan, dibandingkan dengan unsur rohani seperti moral dan agama.

3. Kebudayaan cenderung mengisi dan menentukan jalannya kehidupan manusia walaupun jarang disadari oleh manusia itu sendiri. Kebudayaan merupakan atribut manusia. Namun, tidak mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur kebudayaannya. Betapa sulit bagi seseorang untuk mengetahui seluruh unsur-unsur kebudayaan yang didukung oleh masyarakat. Sebagai contoh, jarang kita temukan orang yang berasal dari Indonesia misalnya yang mengetahui unsur-unsur kebudayaan Indonesia hingga sekecil-kecilnya. Padahal kebudayaan tersebut menentukan arah serta perjalanan hidupnya.

Tipe dan Pola Sosialisasi

Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. Contoh, standar seseorang itu disebut baik di sekolah dan kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu.

Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut sebagai berikut.
1. Formal. Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
2. Informal. Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.

Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. Dengan adanya proses sosialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perilaku saya sudah pantas atau tidak?

Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.

Pola Sosialisasi
Jaeger membagi sosialisasi ke dalam dua pola. Kedua pola tersebut adalah pola sosialisasi represif dan pola sosialisasi partisipatoris.
1. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non-verbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan pada keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant others.
2. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berperilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi yang bersifat lisan. Yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized others.

Sumber penyimpangan menurut para ahli

Sumber penyimpangan menurut para ahli
Edward H. Sutherland
Sutherland mengemukakan sebuah teori yang dinamakannya differential association. Menurutnya, penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses belajar ini, seseorang mempelajari suatu budaya menyimpang. Misalnya, menghisap ganja pada suatu kelompok remaja.

Edwin M. Lemert
Lemert menamakan teorinya labelling theory. Menurutnya, seseorang menjadi penyimpang karena adanya proses labelling (pemberian julukan, cap, etiket, atau merek) yang diberikan masyarakat kepadanya. Proses labelling ini bisa membuat seseorang yang tadinya tidak memiliki kebiasaan menyimpang menjadi terbiasa. Bahkan, kebiasaan itu kemudian menjadi gaya hidupnya. Contoh, seorang siswa yang bolos sekolah satu kali dicap pembolos oleh seorang guru. Julukan dari guru ini terdengar oleh teman-temannya. Sejak saat itu, julukan pembolos melekat pada dirinya.

Karena terus menerus mendengar julukan pembolos, ia malah mengulangi perbuatan itu terus menerus.
Lebih jauh Lemert membagi perilaku menyimpang ke dalam dua bentuk.
1. Penyimpangan primer (primary deviation), yaitu perbuatan menyimpang yang dilakukan seseorang namun sang pelaku masih dapat diterima secara sosial. Ciri penyimpangan primer adalah sifatnya sementara, tidak berulang, dan dapat ditolerir masyarakat. Contohnya, mengendarai motor atau mobil melebihi kecepatan yang normal (kebut-kebutan).

2. Penyimpangan sekunder (secondary deviation), yaitu perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perbuatan atau perilaku menyimpang. Contoh, memerkosa, membunuh, merampok, mabuk-mabukan, menggunakan obat terlarang, berjudi, dan melacur. Penyimpangan demikian bisa dilakukan secara individu maupun kelompok. Masyarakat pada umumnya tidak bisa menerima dan tidak menginginkan orang-orang semacam ini berada dalam lingkungannya.

Robert K. Merton
Berbeda dengan Sutherland dan Lemert yang melihat perilaku menyimpang dari kajian interaksi sosial (mikro), Merton melihat perilaku menyimpang dari sudut pandang yang lebih luas (makro). Merton melihatnya dari sudut struktur sosial. Menurutnya, Struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku yang konformis, tapi juga perilaku yang menyimpang. Struktur sosial menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial dan menekan orang tertentu ke arah perilaku yang nonkonform (tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat).

Dalam struktur sosial dan budaya, ada tujuan atau sasaran budaya yang disepakati oleh anggota masyarakat. Tujuan budaya adalah sesuatu yang "pantas diraih". Untuk mencapai tujuan tersebut, struktur sosial dan budaya mengatur cara yang harus ditempuh dan aturan ini bersifat membatasi. Merton menyatakan bahwa perilaku menyimpang terjadi karena tidak adanya kaitan antara tujuan dengan cara yang telah ditetapkan dan dibenarkan oleh struktur sosial.

Lebih jauh Merton mengidentifikasikan lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu. Empat di antara lima tipe itu merupakan perilaku menyimpang.
1. Cara adaptasi konformitas (conformity)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Contoh, seorang siswa ingin mendapatkan gelar sarjana (tujuan yang ditetapkan masyarakat). Tujuan itu ia capai dengan memasuki perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta (cara yang tersedia dalam masyarakat).

2. Cara adaptasi inovasi (innovation)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat. Akan tetapi ia memakai cara yang dilarang oleh masyarakat. Contoh, seorang siswa yang ingin mendapatkan nilai matematika bagus melakukan berbagai cara, seperti mencontek saat ujian. Nilai bagus merupakan tujuan yang ditentukan oleh masyarakat, sedangkan mencontek merupakan cara yang tidak dibenarkan oleh masyarakat.

3. Cara adaptasi ritualisme (ritualism)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi tetap berpegang pada cara yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Contoh, seorang karyawan dari kalangan menengah ke bawah tidak ingin naik jabatan. Ia tidak mau berharap sebab takut gagal. Tujuan budaya yang sudah ada di masyarakat (mencapai kesuksesan) tidak dikejar oleh karyawan itu, tetapi cara mencapai tujuan budaya tetap ia lakukan, yaitu dengan bekerja (bekerja adalah salah satu cara yang ditetapkan masyarakat untuk mencapai kesuksesan).

4. Cara adaptasi retreatisme (retreatism)
Bentuk adaptasi ini, perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan dan cara yang dikehendaki. Pola adaptasi ini menurut Merton dapat dilihat pada orang yang mengalami gangguan jiwa, gelandangan, pemabuk, dan pada pecandu obat bius. Orang-orang itu ada di dalam masyarakat, tetapi dianggap tidak menjadi bagian dari masyarakat.

5. Cara adaptasi pemberontakan (rebellion)
Pada bentuk adaptasi terakhir ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan struktur sosial yang baru. Tujuan budaya yang ada dianggap sebagai penghalang bagi tujuan yang didambakan. Demikian pula dengan cara yang ada untuk mencapai tujuan tersebut tidak diakui. Contoh, pada tahun 1998 demonstrasi mahasiswa dari seluruh Indonesia berhasil menurunkan Soeharto dan rezim Orde Baru kemudian menggantinya dengan rezim Orde Reformasi. Orde Baru merupakan struktur sosial yang ditolak oleh mahasiswa, sedangkan Orde Reformasi merupakan struktur sosial yang didambakan. Cara mengganti kepemimpinan yang tersedia di dalam masyarakat kita adalah melalui sidang MPR, tapi cara ini ditolak oleh para mahasiswa. Mereka memilih menggunakan cara demonstrasi untuk mengganti kepemimpinan Soeharto dan Orde Baru.

Dari keseluruhan tipe-tipe yang disebutkan di atas, tipe adaptasi yang pertama (adaptasi konformitas) merupakan bentuk perilaku yang tidak menyimpang. Sementara empat tipe selanjutnya merupakan bentuk perilaku yang menyimpang.

Emile Durkheim
Menurut Emile Durkheim, keseragaman semua anggota masyarakat tentang kesadaran moral tidak dimungkinkan. Tiap individu berbeda satu dengan yang lain karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di antaranya faktor keturunan, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Dengan demikian, orang yang berwatak jahat akan selalu ada, dan kejahatan pun akan selalu ada. Durkheim bahkan berpandangan bahwa kejahatan perlu bagi masyarakat karena dengan adanya kejahatan maka moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal.

Karl Marx
Teori Marx dikenal dengan sebutan teori konflik. Menurut Marx, apa yang disebut dengan perilaku menyimpang merupakan perilaku yang didefinisikan atau dibentuk oleh pihak yang berkuasa untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Menurutnya, hukum merupakan cerminan kepentingan pihak yang berkuasa dan pengadilan hanya menguntungkan pihak tersebut.

David Berry
Berry mengungkapkan hal yang sedikit berbeda. Menurutnya, adalah keliru jika kita melihat penyimpangan semata-mata karena ketidakpatuhan terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Penyimpangan bukan hanya karena seseorang gagal menyesuaikan diri dengan standar nilai dan norma tertentu, tapi juga karena orang itu memilih standar nilai dan norma bagi dirinya sendiri yang berbeda dengan standar orang lain. Contohnya, seorang remaja yang tadinya berada di dalam suatu kelompok remaja kebanyakan, memilih memisahkan diri dan masuk ke kelompok punk yang memiliki standar nilai dan norma yang berbeda dengan kelompok sebelumnya. Ia mengenakan atribut punk seperti model rambut atau pakaian yang berbeda dengan kelompok pertama.

Meskipun sosiologi tidak memusatkan perhatian pada kaitan fisik dan perilaku, tetapi ada beberapa tokoh yang menghubungkan perilaku menyimpang dengan ciri-ciri fisik. Contoh, pada kasus waria di mana masyarakat menganggapnya sebagai orang yang menyimpang.

Sifat dan Macam Perilaku Menyimpang

Secara umum, terdapat dua sifat penyimpangan, yaitu penyimpangan yang bersifat positif dan penyimpangan yang bersifat negatif.
1. Penyimpangan yang bersifat positif
Penyimpangan yang bersifat positif adalah penyimpangan yang mempunyai dampak positif terhadap sistem sosial karena mengandung unsur inovatif, kreatif, dan memperkaya alternatif. Penyimpangan demikian umumnya dapat diterima masyarakat karena sesuai dengan perubahan zaman. Contoh, emansipasi wanita dalam kehidupan masyarakat yang memunculkan banyak wanita karier.

2. Penyimpangan yang bersifat negatif
Dalam penyimpangan yang bersifat negatif, pelaku bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan berakibat buruk serta mengganggu sistem sosial. Tindakan dan pelakunya akan dicela dan tidak diterima oleh masyarakat. Bobot penyimpangan dapat diukur menurut kaidah sosial yang dilanggar.

Contoh:
a. Seseorang yang terbukti melakukan pembunuhan setelah diproses melalui pengadilan dapat diancam hukuman minimal delapan tahun penjara.
b. Seseorang yang terbukti melakukan perkosaan dan pembunuhan yang direncanakan dapat dijatuhi hukuman seumur hidup.
c. Seorang koruptor selain harus mengembalikan kekayaan yang dimilikinya kepada negara, juga tetap dikenakan hukuman penjara.

Macam-Macam Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang dapat kita golongkan atas tindakan kriminal atau kejahatan, penyimpangan seksual, penyimpangan dalam bentuk pemakaian dan pengedaran obat terlarang, serta penyimpangan dalam gaya hidup.

1. Tindakan Kriminal atau Kejahatan
Tindakan kriminal atau tindakan kejahatan umumnya dilihat bertentangan dengan norma hukum, norma sosial, dan norma agama yang berlaku di masyarakat. Yang termasuk ke dalam tindakan kriminal (delik) antara lain adalah pencurian, penganiayaan, pembunuhan, penipuan, pemerkosaan, dan perampokan. Tindakan kejahatan ini biasanya menyebabkan pihak lain kehilangan harta benda, cacat tubuh, bahkan kehilangan nyawa. Tindak kejahatan mencakup pula semua kegiatan yang dapat mengganggu keamanan dan kestabilan negara, seperti korupsi, makar, subversi, dan terorisme.

Emile Durkheim menyebut penyimpangan sebagai kejahatan. Apabila kita berbicara tentang kejahatan, sering yang kita maksudkan adalah jenis kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti pembunuhan, perampokan, penganiayaan, pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan, penipuan, atau berbagai jenis kejahatan yang disebut sebagai violent offenses (kejahatan yang disertai kekerasan pada orang lain) dan property offenses (kejahatan yang menyangkut hak milik orang). Namun, ada ahli sosiologi yang membuat klasifikasi berbeda dengan klasifikasi yang dianut masyarakat atau penegak hukum. Light, Keller, dan Calhoun membedakan tipe kejahatan menjadi empat, yaitu sebagai berikut.

a. Kejahatan tanpa korban (crime without victim)
Kejahatan ini tidak mengakibatkan penderitaan pada korban akibat tindak pidana orang lain. Contoh: perbuatan berjudi, penyalahgunaan obat bius, mabuk-mabukan, hubungan seks yang tidak sah yang dilakukan secara sukarela oleh orang dewasa. Meskipun tidak membawa korban, perilaku-perilaku itu tetap digolongkan sebagai perilaku menyimpang oleh masyarakat. Kejahatan jenis ini dapat mengorbankan orang lain apabila menyebabkan tindakan negatif lebih lanjut misalnya, seseorang ingin berjudi tapi karena ia tidak memiliki uang lalu mencuri harta orang lain, atau perilaku seksual menyimpang yang menimbulkan HIV/AIDS dan menularkannya pada orang lain.

b. Kejahatan terorganisasi (organized crime)
Pelaku kejahatan merupakan komplotan yang secara berkesinambungan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang atau kekuasaan dengan jalan menghindari hukum. Misalnya, komplotan korupsi, penyediaan jasa pelacur, perjudian gelap, penadah barang curian, atau peminjaman uang dengan bunga tinggi (rentenir). Kejahatan terorganisasi yang melibatkan hubungan antarnegara disebut kejahatan terorganisasi transnasional. Contoh, penjualan bayi ke luar negeri, penjualan perempuan ke Jepang atau Thailand (women's trafficking), atau jaringan narkoba internasional.

c. Kejahatan kerah putih (white collar crime)
Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang atau orang yang berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya. Contoh, penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan oleh pemilik perusahaan, atau pejabat negara yang melakukan korupsi.

d. Kejahatan korporat (corporate crime)
Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Misalnya, suatu perusahaan membuang limbah beracun ke sungai dan mengakibatkan penduduk sekitar mengalami berbagai jenis penyakit.

2. Penyimpangan Seksual
Penyimpangan seksual adalah perilaku seksual yang tidak lazim dilakukan. Beberapa jenis penyimpangan seksual antara lain perzinahan, lesbianisme dan homoseksual, kumpul kebo, sodomi, transvestitisme, sadisme, dan pedophilia.
a. Perzinahan adalah hubungan seksual di luar nikah.
b. Lesbianisme adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh sesama wanita.
c. Homoseks adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh sesama lelaki.
d. Kumpul kebo adalah hidup seperti suami istri tanpa nikah.
e. Sodomi adalah hubungan seks melalui anus.
f. Transvestitisme adalah memuaskan keinginan seks dengan mengenakan pakaian lawan jenis.
g. Sadisme adalah pemuasan seks dengan menyakiti orang lain.
h. Pedophilia adalah memuaskan keinginan seks dengan mengadakan kontak seksual dengan anak-anak.

3. Pemakaian dan Pengedaran Obat Terlarang
Penyimpangan dalam bentuk pemakaian dan pengedaran obat terlarang merupakan bentuk penyimpangan dari nilai dan norma sosial maupun agama. Akibat negatifnya bukan hanya pada kesehatan fisik dan mental seseorang, tetapi lebih jauh pada eksistensi sebuah negara. Sebuah negara yang terdiri dari manusia-manusia yang memiliki kesehatan mental dan fisik yang rendah tidak akan mampu berkompetisi dengan negara-negara lain yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Contoh obat terlarang adalah narkotika (ganja, candu, putaw), psikotropika (ecstasy, amphetamine, magadon), dan alkohol.

Penyalahgunaan obat-obat terlarang memang lebih banyak terjadi pada kaum remaja karena perkembangan emosi mereka yang belum stabil, cenderung ingin mencoba, kepribadian yang cenderung asosial (tidak mempertimbangkan orang lain, kondisi kecemasan atau depresi, situasi keluarga yang tidak harmonis, salah memilih teman, obat-obatan yang mudah diperoleh, dan sebagainya). Karena itu, di sekolah-sekolah sering diadakan penyuluhan tentang hal ini dengan harapan agar anak-anak usia sekolah mengerti lebih jauh bahaya dari penggunaan barang tersebut.

Menurut Dr. Graham Baliane, kaum remaja lebih mudah terjerumus pada penggunaan narkotik karena faktor-faktor berikut.
a. Ingin membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan berbahaya, seperti kebut-kebutan, berkelahi, dan mengancam.
b. Ingin menunjukkan tindakan menentang orang tua yang otoriter atau siapa saja yang dianggap tidak sepaham dengan dirinya.
c. Ingin melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman emosional.
d. Ingin mencari dan menemukan arti hidup (yang semu).
e. Ingin mengisi kekosongan dan kebosanan (tidak memiliki banyak aktivitas di luar sekolah).
f. Ingin menghilangkan kegelisahan.
g. Solidaritas di antara kawan.
h. Ingin tahu dan iseng.
4. Penyimpangan dalam Bentuk Gaya Hidup

Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup yang lain dari biasanya antara lain sikap arogansi dan eksentrik. Sikap arogansi, antara lain kesombongan terhadap sesuatu yang dimilikinya seperti kekayaan, kekuasaan, dan kepandaian. Sikap arogan bisa saja dilakukan oleh seseorang yang ingin menutupi kekurangan yang dimilikinya. Sikap eksentrik ialah perbuatan yang menyimpang dari biasanya sehingga dianggap aneh, seperti anak laki-laki memakai anting-anting atau benda lainnya yang biasa dikenakan wanita, atau seniman dan pemuda yang berambut panjang.

Proses sosialisasi dan pembentukan kepribadian

Kita telah membahas bahwa dalam pergaulan hidup, manusia tidak pernah lepas dari penilaian orang lain. Sering kita mendengar pendapat orang mengenai perilaku atau perangai si A yang baik dan perangai si B yang buruk. Orang mengartikan sikap atau perangai dan tingkah laku tersebut sebagai kepribadian (personality) seseorang. Namun, sebenarnya sikap atau perangai dan tingkah laku yang disebutkan itu hanya sebagian kecil dari kepribadian seseorang.

Menurut Yinger, kepribadian adalah keseluruhan perilaku seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi. Ungkapan sistem kecenderungan tertentu tersebut menyatakan bahwa setiap orang mempunyai cara berperilaku yang khas, seperti sikap, bakat, adat, kecakapan, kebiasaan, dan tindakan yang sama setiap hari. Sementara ungkapan interaksi dengan serangkaian situasi menyatakan bahwa perilaku merupakan produk gabungan dari kecenderungan perilaku seseorang dan situasi perilaku yang dihadapi seseorang. Contoh, sekali waktu Andi berbohong pada orang tuanya untuk menutupi nilai ulangannya yang jelek. Karena orang tuanya percaya, lain waktu ia berbohong lagi. Tindakan berbohongnya itu ia ulangi terus menerus pada situasi yang hampir sama sehingga membentuk pola perilaku dan menjadi kepribadiannya.

Dalam sosiologi, istilah kepribadian dikenal dengan sebutan diri (self). Sosialisasi bertujuan untuk membentuk diri seseorang agar dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat di mana ia tinggal.

Menurut George Herbert Mead dalam bukunya Mind, Self, and Socrety (1972), ketika manusia lahir ia belum mempunyai diri (self). Diri manusia berkembang tahap demi tahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Setiap anggota baru dalam masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu proses yang disebut Mead sebagai role taking (pengambilan peran). Dalam proses ini, seseorang belajar mengetahui peran apa yang harus dijalankan dirinya dan peran apa yang dijalankan orang lain.

Ada tiga tahap perkembangan diri manusia. Ketiga tahap itu adalah sebagai berikut.
1. Play stage. Dalam tahap ini, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia Inulai meniru peran yang dijalankan oleh orang tuanya, kakaknya, tetangganya, atau orang yang sering berinteraksi dengannya (significant others). Contoh, kita sering melihat anak kecil bermain menjadi polisi atau menjadi dokter. Pada tahap ini, seorang anak belum sepenuhnya memahami isi peran-peran yang ditirunya. Ia belum mengetahui mengapa polisi menangkap penjahat atau mengapa dokter menyuntik pasien.

2. Game stage. Pada tahap ini, seorang anak tidak hanya mengetahui peran yang harus dijalankannya, tetapi telah mengetahui peran yang dijalankan orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Anak tersebut sudah menyadari peran yang ia jalankan dan peran yang dijalankan orang lain. Contohnya, dalam bermain sepak bola ia menyadari adanya peranan sebagai wasit, sebagai kiper, dan penjaga garis.

3. Generalized others. Pada tahap ketiga dari sosialisasi, anak telah Inampu mengambil peran-peran orang lain yang lebih luas (generalized others), tidak sekedar orang-orang terdekatnya (significant others). Dalam tahap ini, ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peran dirinya dan peran orang lain. Contoh, sebagai siswa ia memahami peran guru, sebagai anak ia memahami peran orang tua. Jika anak telah mencapai tahap ini, maka ia telah mempunyai suatu diri.

Dari pandangan-pandangan tersebut, Mead jelas mengatakan bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain. Dalam interaksi tersebut ia mengalami proses sosialisasi.

Seperti halnya Mead, Charles Horton Cooley pun menyatakan bahwa konsep diri seseorang berkembang melalui interaksi dengan orang lain. Diri seseorang merupakan sebuah produk sosial, yaitu sebuah produk dari interaksi sosial. Lebih lanjut Cooley menyatakan bahwa diri seseorang memantulkan apa yang dirasakan sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. Diri seseorang yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini disebut Cooley sebagai looking-glass self.

Cooley menganalogikan pembentukan diri seseorang dengan cermin. Cermin selalu memantulkan apa yang ada di depannya. Demikian pula dengan diri seseorang, ia memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadap dirinya. Oleh karena itu, Cooley menyebutkan bahwa Looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap berikut.
1. Seseorang membayangkan bagaimana perilaku atau tindakannya tampak bagi orang lain.
2. Seseorang membayangkan bagaimana orang lain menilai perilaku atau tindakan itu.
3. Seseorang membangun konsepsi tentang dirinya berdasarkan asumsi penilaian orang lain terhadap dirinya itu.

Contohnya, seorang siswa beberapa kali mendapat nilai kurang untuk mata pelajaran matematika. Ia dimarahi guru matematikanya. Oleh karena itu, ia merasa bahwa guru matematika menganggap dirinya bodoh. Anggapan itu ada di dalam pikiran siswa dan mempengaruhi pandangan siswa tersebut terhadap dirinya sendiri. Terlepas apakah memang anggapan guru terhadap siswa tersebut benar atau tidak, ia memandang dirinya bodoh. Contoh lain, sejak kecil seorang gadis dinilai cantik oleh keluarganya dan orang-orang lain. Lambat laun penilaian orang ini mempengaruhi dirinya sehingga ia merasa dan bertindak seperti orang yang cantik. Perasaan seseorang tentang penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaian terhadap dirinya sendiri.

Peran Nilai dan Norma Sosial dalam Sosialisasi

Diri seseorang merupakan produk sosial dari hasil interaksinya dengan orang lain. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. Sejak ia lahir, ia telah mengalami proses sosialisasi. Artinya, sejak lahir seseorang melakukan proses belajar tentang bagaimana bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat melalui refleksi terhadap orang lain. Dengan demikian, nilai dan norma-norma sosial tersebut telah menjadi bagian dari dirinya. Ia akan selalu berperilaku atau bertindak sesuai dengan nilai dan norma-norma tersebut.

Meskipun nilai dan norma sosial merupakan isi yang dipelajari seseorang untuk membentuk dirinya, nilai dan norma sosial juga menjadi penentu bagaimana pola sosialisasi akan berlangsung dalam diri seseorang. Contohnya, nilai dan norma sosial dalam masyarakat feodal menuntut seseorang untuk tunduk dan patuh kepada orang yang lebih tua. Dengan demikian, dalam masyarakat ini pola sosialisasi yang dialami si anak cenderung represif (dipaksakan). Oleh karena itu, proses belajar anak adalah pasif di mana anak dipaksa untuk menerima nilai dan norma. Sementara dalam masyarakat yang demokratis, nilai dan norma sosial yang berlaku adalah kesamaan derajat. Pola sosialisasi yang berlangsung di dalam masyarakat ini pun cenderung partisipatoris di mana anak berperan aktif untuk belajar membentuk diri, sesuai dengan refleksi dirinya terhadap orang-orang di sekitarnya.

Pada dasarnya, tidak ada seorang manusia pun yang tidak melakukan proses sosialisasi dalam hidupnya. Manusia hidup dari dan dalam masyarakat. Melalui proses sosialisasi, seseorang menjadi tahu bagaimana ia harus berperilaku di tengah-tengah masyarakat. Proses sosialisasi juga dapat mewarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Akhirnya, ia akan terampil dan pandai dalam hidup bermasyarakat. Proses sosialisasi ini berlangsung seumur hidup selama manusia masih mampu dan mau meningkatkan kemampuannya untuk menjadi manusia yang lebih berguna bagi masyarakatnya. Namun demikian, dalam beberapa kasus terdapat individu-individu yang tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan baik. Contoh kasus individu yang tidak mendapat sosialisasi adalah Anna, Isabelle, dan Genie.

1. Kingsley Davis mengisahkan Anna dan Isabelle yang sejak bayi sampai berumur 5 tahun, dikurung oleh kakek dan ibunya yang bisu tuli. Saat ditemukan, kedua gadis ini tidak dapat berbicara, berjalan, atau mandi sendiri. Mereka bersikap apatis dan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar mereka. Anna akhirnya meninggal empat tahun kemudian karena hilangnya semangat hidup. Ia hanya mampu mempelajari beberapa kata dan kalimat, beberapa aspek kehidupan sosial, dan beberapa petunjuk ringan. Isabelle setelah dua tahun dirawat secara intensif, akhirnya bisa hidup secara normal dan mulai sekolah.

2. Curtiss dan Pines mengisahkan seorang gadis berusia 1.3 tahun yang bernama Genie. Dia disekap ayahnya di dalam gudang gelap sejak umur 2 tahun. Kondisi awal saat ditemukan sama dengan yang dialami Anna dan Isabelle. Walaupun mengalami kemajuan setelah dirawat secara intensif, ia tidak berkembang hingga tahap yang seharusnya dialami anak-anak seusianya.

Dari kasus tersebut tergambarkan betapa pentingnya sosialisasi bagi manusia. Tanpa sosialisasi, kemampuan akal, emosi, dan jiwa seseorang tidak dapat berkembang sesuai dengan yang diharapkan masyarakatnya. Anak-anak yang kurang mengalami proses sosialisasi secara wajar akan berperilaku berbeda dari anak lainnya, seperti yang dialami Anna, Isabelle, dan Genie. Bahkan, anak tersebut takut bertemu dengan orang lain. Meskipun anak tersebut kemudian diberi sosialisasi, ternyata hasilnya tetap ketinggalan dibandingkan dengan anak lain yang usianya sebaya.