Monday, March 28, 2016

Teori-Teori tentang Kekerasan

Teori Faktor Individual
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Agresivitas perilaku seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan, baik yang dilakukan oleh individu secara sendirian maupun bersama orang lain; secara spontan maupun direncanakan.

Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, psikoneurosis, frustrasi yang kronis, serta pengaruh obat bius. Faktor-faktor yang bersifat sosial, antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya, dan faktor media massa.

Teori Faktor Kelompok
Beberapa ahli lain mengemukakan pandangan bahwa individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama, atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang yang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab kekerasan. Contoh yang paling nyata dari hal ini dapat kita saksikan pada kerusuhan dalam pertandingan sepak bola antara dua kubu suporter. Contoh lain adalah kekerasan berbau rasial yang pernah terjadi di Poso, Maluku, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan Palestina.

Teori Dinamika Kelompok
Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif (kehilangan rasa memiliki) yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan nilai masyarakatnya. Perkembangan pengaruh perubahan itu berlangsung sangat cepat dan tidak seiring dengan perubahan atau perkembangan dalam masyarakat. Sebagai contoh, masuknya perusahaan-perusahaan internasional ke wilayah pedalaman Papua. Masuknya perusahaan-perusahaan tersebut disertai kedatangan orang-orang asing dalam masyarakat atau suku setempat. Orang-orang asing tersebut membawa berbagai teknologi, perilaku, hingga tata nilai yang sedikit banyak berbeda dengan teknologi, perilaku, dan tata nilai masyarakat setempat. Perkembangan itu menyebabkan masyarakat setempat merasa terasing dan timbullah deprivasi relatif yang dapat berakhir dengan perlawanan atau kekerasan.

Cara Pengendalian Konflik dan Kekerasan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konflik merupakan gejala sosial yang senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat. Sebagai gejala sosial, konflik hanya akan hilang bersama hilangnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah mengendalikan agar konflik tersebut tidak berkembang menjadi kekerasan (violence).

Ada tiga syarat agar sebuah konflik tidak berakhir dengan kekerasan. Ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka. Dengan kesadaran tersebut, mereka berusaha melaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur.
2. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin bisa dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas. Jika tidak, pengendalian atas konflik pun akan sulit dilakukan.
3. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan main tertentu yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan main tersebut akan menjamin keberlangsungan hidup kelompok-kelompok yang bertikai tersebut. Melalui aturan-aturan itu, setiap kelompok tersebut enggan berlaku tidak adil. Mereka juga meramalkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh kelompok lain dan memantau munculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan kedua kelompok.

Pada umumnya, masyarakat memiliki sarana atau mekanisme untuk mengendalikan konflik di dalam tubuhnya. Beberapa ahli menyebutnya sebagai katup penyelamat (safety valve), yaitu suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik.

Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara dua pihak yang berlawanan. Katup tersebut membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Katup penyelamat itu menyediakan objek-objek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-pihak yang bertikai agar tersalur ke arah lain. Namun, katup tersebut hanya merupakan sarana yang bersifat sementara. Tujuan utamanya adalah untuk menetralkan ketegangan-ketegangan yang timbul dari situasi pertentangan. Contoh katup penyelamat ini adalah badan perwakilan siswa atau dewan guru di sekolah. Melalui badan atau lembaga seperti itu, siswa atau guru dapat mengungkapkan keluhan-keluhannya.

Secara umum, ada tiga macam bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi.

Konsiliasi
Bentuk pengendalian konflik seperti ini dilakukan melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak yang bertikai. Contoh bentuk pengendalian konflik ini adalah melalui lembaga perwakilan rakyat. Berbagai kelompok kepentingan yang bertikai bertemu di dalam lembaga ini untuk menyelesaikan konflik mereka.

Agar dapat berfungsi efektif dalam menyelesaikan konflik, lembaga-lembaga konsiliasi harus memenuhi empat hal berikut.
1. Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang otonom. Keputusan yang diambilnya merupakan keputusan murni tanpa campur tangan dari lembaga lain.
2. Kedudukan lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolitis. Artinya, hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian.
3. Lembaga tersebut harus berperan agar kelompok yang bertikai merasa terikat kepada lembaga tersebut. Selain itu, keputusan-keputusannya berlaku mengikat kelompok-kelompok tersebut.
4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sebelum keputusan tertentu diambil.

Mediasi
Pengendalian konflik dengan cara mediasi dilakukan apabila kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga ini akan memberikan pemikiran atau nasihat-nasihatnya tentang cara terbaik dalam menyelesaikan pertentangan mereka. Sekalipun pemikiran atau nasihat pihak ketiga tersebut tidak mengikat, cara pengendalian ini kadang-kadang menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Cara mediasi cukup efektif untuk mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul di dalam konflik. Dengan cara mediasi, ada kemungkinan pihak-pihak yang berkonflik akan menarik diri tanpa harus "kehilangan muka".

Arbitrasi
Arbitrasi atau perwasitan umumnya dilakukan apabila kedua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik.

Pada bentuk mediasi, pemikiran atau nasihat dari pihak ketiga bukan merupakan keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang berkonflik. Sebaliknya, dalam bentuk perwasitan, kedua belah pihak harus menerima keputusan-keputusan yang diambil pihak ketiga (wasit). Dengan kata lain, pihak ketiga tidak mengarahkan konflik untuk suatu tujuan tertentu yang memenangkan salah satu pihak.

Selain sarana atau mekanisme seperti disebutkan di atas, menurut George Simmel, terdapat beberapa cara lain untuk menghentikan konflik.
1. Kemenangan salah satu pihak atas pihak lainnya. Misalnya, kemenangan tentara Sekutu atas Jepang pada Perang Dunia II dengan menjatuhkan bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki. Peristiwa pemboman tersebut mengakhiri konflik yang terjadi saat itu.

2. Kompromi atau perundingan di antara pihak-pihak yang bertikai sehingga tidak ada pihak yang sepenuhnya menang dan tidak ada pihak yang merasa kalah. Misalnya, perjanjian-perjanjian gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda pada masa perang kemerdekaan.

3. Rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai. Hal tersebut akan mengembalikan suasana persahabatan dan saling percaya di antara pihak-pihak yang bertikai. Sebagai contoh, penyelesaian konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.

4. Saling memaafkan atau salah satu pihak memaafkan pihak yang lain.

5. Kesepakatan untuk tidak berkonflik.

Pandangan Simmel tersebut tentu bukan merupakan hal yang mutlak, tetapi sangat bergantung pada kondisi konflik itu sendiri. Dengan demikian, cara-cara lain untuk mengendalikan konflik juga dapat dilakukan. Berikut ini beberapa cara pengendalian konflik yang lain.
1. Memberikan perhatian pada salah satu pihak yang berkonflik dengan cara menyuap atau menyogok.
2. Menggunakan orang ketiga di luar pihak-pihak yang sedang berkonflik. Cara ini sering disebut dengan memakai wasit atau arbitrasi.
3. Menggunakan aturan yang ketat. Hal ini merupakan cara terakhir. Cara ini digunakan apabila pihak-pihak yang sedang berkonflik mau berlindung pada peraturan-peraturan birokrasi atau hukum formal.

No comments:

Post a Comment